Jumat, 22 Oktober 2010

PEREMPUAN (Part II)

Cacian dan makian kini menyerang kedua gendang telingaku. Ribut sekali. Diamlah! DIAM! Aku tahu aku salah. Kau tidak perlu berkata-kata seperti itu kepadaku. Aku mengerti. Kumohon hentikan. Rambutku dijambak dan tubuhku diseret. Iya, rambut yang dulu disentuh dengan lembut oleh dia yang kusebut suamiku. Dan tubuh yang kini sudah kotor, dijamah oleh orang yang tidak berhak menyentuhnya. Iya. Aku salah. Aku SUNGGUH BERSALAH. Tidak seharusnya aku membiarkan dia menyentuhku. Tapi, apakah dayaku?

Bersalahkah aku bila menginginkan sesuatu? Sesuatu yang bukan milikku dan memang tidak akan pernah mungkin jadi milikku. Tetapi aku galau. Aku tersiksa. Bagaimana mungkin aku mundur dari perbuatan terlarang ini jika perasaan pedih ini terus menyiksaku? Ah, Tuhan. Betapa beratnya perasaan ini. Hal ini membuatku membenci segalanya dalam hidupku. Suamiku dan anak-anakku. Tetapi mereka tidak bersalah. Mereka TIDAK BERSALAH.

Apa yang telah kulakukan? Mengapa aku berbuat kejam? Siapa ini? Ini bukan aku. Bukan aku. Yang ada bersama laki-laki tampan itu, yang membiarkan tubuhnya digerayangi. Bukan, itu bukan aku. Aku tidak...

Ah, siapakah yang hendak kubohongi? Tentu saja itu aku. Akulah yang bersalah. Seandainya saja aku tidak pernah mengenalnya. Seandainya aku tidak suka memandanginya dari jauh. Seandainya aku bersyukur atas suami dan anak-anakku. Seandainya aku tidak memalingkan muka dari dia yang mencintaiku. Seandainya..

Tetapi semua itu sudah berlalu. Tak ada lagi yang dapat kulakukan. Semuanya sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Terbayang di pikiranku, wajah suami dan anak-anakku yang tadinya selalu menyambutku dengan senyuman, mulai sekarang akan terhapus. Tidak akan ada lagi senyuman, tidak ada lagi canda dan tawa. Yang ada hanyalah mata yang menusuk batinku. Bibir mereka akan terkunci dengan pertanyaan, “Mengapa?”

Aku yang sekarang ini, tidak ada bedanya dengan para pembunuh. Aku telah membunuh hati keluargaku. Membunuh masa depan anak-anakku. Mereka akan menjalani masa depan yang suram. Setiap saat akan selalu terdengar di belakang telinga mereka, orang-orang menggunjingkan ibunya yang berselingkuh. Mereka akan selalu dibanding-bandingkan dengan anak-anak perempuan lain. Para calon mertua akan selalu khawatir, akankah rumah tangga putra-putra mereka akan aman? Akankah hal yang sama terjadi lagi?

Oh, Tuhan. Apa yang telah kulakukan? Aku tidak tahu. Aku tidak sadar. Betapa kejinya aku. Mengapakah tidak kupikirkan hal itu sebelum aku melakukan semuanya ini? Tetapi sekalipun sejuta air mata terurai hingga habis, semuanya sudah terlambat. Tidak ada yang dapat kulakukan. Penyesalan tiada gunanya. Maaf. Maaf. Maaf. MAAF... Meskipun aku berteriak hingga suaraku habis. Tidak akan ada gunanya.

Iya, benar. Aku adalah seorang pembunuh. Aku bahkan lebih sadis daripada pembunuh. Hukum aku! Hukumlah aku! Sebab akulah yang menyebabkan penderitaan ini. Akulah yang menyakiti mereka. Akulah menyebabkan dia berbuat dosa. Akulah pelakunya. Aku yang bertanggung jawab. Tidak apa-apa jika kau mencaciku. Tidak apa jika kau ingin meludahiku. Tidak apa. Tataplah aku dengan mata yang dingin itu. Makilah aku dengan suara yang sekeras-kerasnya. Sebab aku ini lebih rendah dari binatang. Aku lebih keji daripada pembunuh. Sesungguhnya keberadaanku tidak memberikan manfaat apapun pada dunia ini. Ya. Aku sudah siap menerima kematian.

PEREMPUAN (The Story)

Aku tertunduk malu. Langkahku tertatih mengikuti jalan orang-orang yang menyebut dirinya Farisi ini. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku sudah lelah dan pasrah. Jadi mereka tahu. Dosa yang selama ini kusembunyikan. Betapa aku tidak mencintai orang yang dikenal sebagai suamiku itu. Betapa buruk dan berdosanya aku.

Sembilan tahun kami bersama. Aku tidak pernah kekurangan. Baik itu makanan, pakaian, kekayaan. Semuanya dia berikan kepadaku dengan cuma-cuma tanpa pernah sekalipun mengeluh. Memang ada kalanya kami bertengkar, tetapi kemudian kami berbaikan lagi. Sungguh seharusnya aku adalah perempuan yang paling berbahagia di bumi ini. Tetapi mengapa? Aku selalu saja merasa kurang. Ada sesuatu yang kucari. Sedikit demi sedikit, rasa itu menyelinap di hatiku.

Ah, betapa berdosanya aku. Betapa tidak bersyukurnya aku. Anak-anakku begitu dicintai oleh ayahnya. Sekalipun mereka semua adalah perempuan yang mungkin nantinya tidak akan dipandang oleh masyarakat kecuali oleh nama ayah mereka. Perempuan apakah aku ini? Menyia-nyiakan dia yang begitu mencintaiku.

Dan di sanalah ia. Berdiri mencuri perhatianku dengan diam-diam. Pemuda tampan bertubuh tegap. Sudah lama aku tidak melihat pemandangan sebagus ini. Ah, dosakah aku? Setiap kali, aku hanya bisa memandanginya dengan rasa kagum. Mengamati bagaimana ia berbicara dan bergerak. Bukan hanya aku, para wanita sebayakupun mengaguminya. Ia memperlakukan kami dengan hormat. Memberikan pendapat pada setiap permasalahan tanpa merendahkan kami.

Hari demi hari aku hanya memperhatikannya. Seperti seorang gadis remaja yang baru saja menemukan pujaan hatinya, diam-diam aku menyimpan hasrat untuk menemuinya. Tidak pernah sebelumnya aku menyapanya dari dekat. Siapapun tahu, wanita yang sudah menikah tidak boleh sembarangan bergaul. Karena itu, setiap kali, aku hanya melihatnya dari jauh.Tentu saja aku sadar, ini bukanlah hal yang pantas. Aku adalah perempuan yang bersuami dan memiliki anak. Tetapi tetap saja, aku tidak bisa menyangkal hasrat ini. Ah, betapa berdosanya aku.

Lalu hari itupun tiba, ia menyapaku. Dengan tenang ia memainkan perannya sebagai keponakan temanku yang baik. Menjamuku dengan sopan sebagai ganti bibinya yang sedang sibuk menghukum kedua anaknya yang nakal. Menjadikanku semakin liar dengan hasrat dan imajinasiku yang mulai ingin memilikinya. Ah! Apakah yang kukatakan ini? Tidak seharusnya. Tidak sepantasnya! Tidak, tidak boleh aku seperti ini. Tetapi jantungku berdebar. Bibirku bergetar tiap kali mengingat suaranya yang menggelitik kupingku. Aku ingin menemuinya. Aku ingin mengenalnya lebih lagi. Ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatku membara. Sungguh, aku menginginkannya!

Tetapi sebagaimana layaknya setiap impian yang tak pantas, akupun diperhadapkan dengan kenyataan yang terasa kejam. Bumi menarik sayap-sayap mimpiku dengan keras. Membawaku kembali ke tanah di mana aku berpijak. Bersama suami dan anak-anakku. Bagaikan kehilangan nyawa, akupun kembali pada ritual itu tanpa ada sedikitpun hasrat yang mengalir. Betapa kecewanya aku.

PEREMPUAN

Ga bermaksud sok tahu (apalagi aq sebenarnya belum menikah,, wkwkwk..), tp ini adalah cerita yang sudah lama ingin kutulis.
Kenapa judulnya "Perempuan"?
Karena tokoh utamanya adalah perempuan.
Dan karena itu juga, yang dituliskan di sini adalah perasaan seorang perempuan.
Berbagai hal yang terjadi, pikiran-pikiran yang berkecamuk dalam dirinya sesaat sebelum ia bertemu dengan Yesus.
Yup, tokoh perempuan ini adalah yang kedapatan berzinah dan dibawa ke depan Yesus oleh para kaum Farisi.

Setiap kali aku mengingat kesedihan dan rasa maluku karena dosa, entah mengapa bayangan tentang wanita ini selalu muncul.
Mungkin karena kami mengalami hal yang sama (well, ga terlalu sama sih, karena, sekali lagi, I'm not married yet).

Rasa malu kepada diri sendiri, benci mengingat kesalahan yang telah dilakukan, penyesalan karena perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan, takut akan kehilangan orang-orang yang dicintai karena kesalahan itu, kecewa dengan ketidakmampuan diri menghadapi godaan, dan segala perasaan negatif yang timbul akibat perbuatan dosa itu.

Sedikit banyak aku mengambil bagian diriku ke dalam hidup wanita itu. Betapa berat dan pedihnya perasaan bersalah yang ia miliki. Dan saat itupun, tidak ada seorangpun yang tahu dan mengerti apa yang dia rasakan kecuali Tuhan. Dan ia ingin dibebaskan dari keputusasaan yang membelenggunya. Sekalipun mungkin ia tidak menyadarinya. Karena ia tahu, yang menyambutnya di depan adalah kematian. Karena hukum Taurat mengharuskan wanita yang berselingkuh untuk dilempari batu hingga mati. Dan ia menerima itu dengan lapang karena tahu, perbuatannya tidak dapat dimaafkan.

Oleh karena itu, mohon dimengerti jika tulisan ini begitu berantakan dan penuh dengan emosi negatif. Well, I'm not done yet. So, tolong jangan berhenti membaca dan berharap. Karena akupun sebagai pengarang, tidak ingin cerita ini berakhir begitu saja. Sama seperti Tuhan. Mungkin Dia mengijinkanmu mengalami hal yang luar biasa buruk hingga kau mengharapkan kematian menjemputmu. Tapi, ingatlah, selama kau masih hidup, Ia tidak akan membiarkanmu begitu saja. Sama sepertiku, Iapun menginginkan akhir yang bahagia dalam hidupmu :)

Weleh, kata pembukanya kok jadi sepanjang ini, ya?
Yo weis, silakan ke halaman blog yang berikutnya.
Marii...