Jumat, 22 Oktober 2010

PEREMPUAN (The Story)

Aku tertunduk malu. Langkahku tertatih mengikuti jalan orang-orang yang menyebut dirinya Farisi ini. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku sudah lelah dan pasrah. Jadi mereka tahu. Dosa yang selama ini kusembunyikan. Betapa aku tidak mencintai orang yang dikenal sebagai suamiku itu. Betapa buruk dan berdosanya aku.

Sembilan tahun kami bersama. Aku tidak pernah kekurangan. Baik itu makanan, pakaian, kekayaan. Semuanya dia berikan kepadaku dengan cuma-cuma tanpa pernah sekalipun mengeluh. Memang ada kalanya kami bertengkar, tetapi kemudian kami berbaikan lagi. Sungguh seharusnya aku adalah perempuan yang paling berbahagia di bumi ini. Tetapi mengapa? Aku selalu saja merasa kurang. Ada sesuatu yang kucari. Sedikit demi sedikit, rasa itu menyelinap di hatiku.

Ah, betapa berdosanya aku. Betapa tidak bersyukurnya aku. Anak-anakku begitu dicintai oleh ayahnya. Sekalipun mereka semua adalah perempuan yang mungkin nantinya tidak akan dipandang oleh masyarakat kecuali oleh nama ayah mereka. Perempuan apakah aku ini? Menyia-nyiakan dia yang begitu mencintaiku.

Dan di sanalah ia. Berdiri mencuri perhatianku dengan diam-diam. Pemuda tampan bertubuh tegap. Sudah lama aku tidak melihat pemandangan sebagus ini. Ah, dosakah aku? Setiap kali, aku hanya bisa memandanginya dengan rasa kagum. Mengamati bagaimana ia berbicara dan bergerak. Bukan hanya aku, para wanita sebayakupun mengaguminya. Ia memperlakukan kami dengan hormat. Memberikan pendapat pada setiap permasalahan tanpa merendahkan kami.

Hari demi hari aku hanya memperhatikannya. Seperti seorang gadis remaja yang baru saja menemukan pujaan hatinya, diam-diam aku menyimpan hasrat untuk menemuinya. Tidak pernah sebelumnya aku menyapanya dari dekat. Siapapun tahu, wanita yang sudah menikah tidak boleh sembarangan bergaul. Karena itu, setiap kali, aku hanya melihatnya dari jauh.Tentu saja aku sadar, ini bukanlah hal yang pantas. Aku adalah perempuan yang bersuami dan memiliki anak. Tetapi tetap saja, aku tidak bisa menyangkal hasrat ini. Ah, betapa berdosanya aku.

Lalu hari itupun tiba, ia menyapaku. Dengan tenang ia memainkan perannya sebagai keponakan temanku yang baik. Menjamuku dengan sopan sebagai ganti bibinya yang sedang sibuk menghukum kedua anaknya yang nakal. Menjadikanku semakin liar dengan hasrat dan imajinasiku yang mulai ingin memilikinya. Ah! Apakah yang kukatakan ini? Tidak seharusnya. Tidak sepantasnya! Tidak, tidak boleh aku seperti ini. Tetapi jantungku berdebar. Bibirku bergetar tiap kali mengingat suaranya yang menggelitik kupingku. Aku ingin menemuinya. Aku ingin mengenalnya lebih lagi. Ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatku membara. Sungguh, aku menginginkannya!

Tetapi sebagaimana layaknya setiap impian yang tak pantas, akupun diperhadapkan dengan kenyataan yang terasa kejam. Bumi menarik sayap-sayap mimpiku dengan keras. Membawaku kembali ke tanah di mana aku berpijak. Bersama suami dan anak-anakku. Bagaikan kehilangan nyawa, akupun kembali pada ritual itu tanpa ada sedikitpun hasrat yang mengalir. Betapa kecewanya aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar